Senin, 28 Februari 2011

Meningkatkan Citra Pustakawan

Citra pustakawan saat ini sedang mengalami degradasi. Tak seperti dulu, profesi seorang pustakawan boleh dikata sangat terhormat. Pada masa itu, seorang pustakawan dapat menjadi penasihat penguasa. Tidak seperti sekarang ini, pustakawan sungguh tidak terlihat kiprahnya, padahal tanpa pustakawan profesional, maka tidak akan pernah bisa melahirkan lulusan yang diharapkan bagi bangsa.

Pun dengan nilai dari jabatan fungsional yang berlaku amatlah berbeda dengan jabatan fungsional lainnya. Faktor dari pemerintah pusat yang sepertinya kurang mengangkat profesi pustakawan, sehingga tidak mendukung adanya peningkatan itu sendiri. Stuck, seolah tak ada apapun yang dihasilkan oleh pustakwan, meskipun perannya sungguh sangat diperlukan.Entahlah, dari dulu sampai sekarang ini, di setiap seminar yang ada dan pernah saya ikuti, selalu mengemukakan materi dengan topik upaya-upaya untuk meningkatkan citra seorang pustakawan.

Andai, pustakawan bisa menjadi nara sumber dan pemecah persoalan bangsa yang tengah berkecamuk ini. Terus, iklan-iklan di televisi yang melibatkan arti dari pustakawan. Mungkin lama kelamaan minat baca dan minat menjadi seorang pustakawan akan meningkat di negeri ini.

Sebenarnya, menjadi seorang pustakawan itu cukup leluasa. Ia bisa menjadi apapun yang dikehendakinya, karena beragam informasi berada di genggamannya. Misalnya menjadi seorang analis informasi, penulis, editor, konsultan perpustakaan, dan lain sebagainya, sehingga profesi sebagai seorang pustakawan tidak lagi menjadi sebuah profesi yang tidak dipandang sebelah mata. Menjadi sangat mungkin sekali bahwa prospek dari seorang pustakawan akan semakin cemerlang, jika pustakawan itu ada kemauan ke arah sana untuk membawa pustakawan ke bintang-bintang. Library go to the stars... *ehm.. kapan ya kita pergi ke bintang-bintang...?*


* Ulasan dari Drs. Suherman (penulis dan pustakawan teladan)

Kamis, 24 Februari 2011

Pustakawan Sama Dengan Dokter

Pustakawan telah 'dituduh' sebagai seseorang yang smart. Setidaknya, itulah tuntutan dari luar yang mengarah kepada seorang pustakawan.

Jika diperhatikan lebih cermat lagi, ada beberapa tuntutan dari luar yang sebaiknya bisa dipenuhi oleh pustakawan selain smart.
Tuntutan harus belajar dan belajar terus, lebih baik membaca lebih dahulu daripada pelanggan, dan juga bisa mendengarkan terlebih dahulu pertanyaan dari pelanggan.
Seorang pustakawan sering kali mendapat pertanyaan yang sifatnya merujuk atau mereferensikan kebutuhan para pelanggan. Jika ada yang bertanya tentang rak buku, itu bukan pertanyaan yang diajukan kepada pustakawan, melainkan kepada petugas perpustakaan.

Pustakawan memang dituntut untuk smart, agar jangan sampai pelanggan yang mengajari pustakawan. Jangan pernah menjawab "TIDAK TAHU", sebisa mungkin menjawab pertanyaan. Pustakawan juga harus bisa menemukan informasi apapun juga, menjawab apapun, mengkatalog apapun, dan NEVER EVER BLUSH, dalam arti jangan sampai pustakawan malu karena tidak bisa menjawab pertanyaan dari para pelanggannya.

Pustakawan yang sesuai tuntutan luar itu bisa mencari dan menemukan kebutuhan pelanggan, memilih sumber penyedia media informasi misalnya dia mengetahui buku itu ada di toko apa, dan dimana bisa diperoleh. Juga mengolah media agar dapat diakses, menata bahan pustaka agar lebih menarik perhatian, memberitahukan kepada pelanggan jika ada informasi terbaru mengenai koleksi perpustakaan, aga para pelanggan datang dan bersedia datang untuk menggunakan produknya.

Jika profesi pustakawan disejajarkan dengan profesi lainnya, pustakawan bisa dikatakan mirip seperti seorang dokter. Ia harus bisa memberikan obat bagi para pasiennya, karena semua obat adalah bahan kimia, tidak bisa obat sakit perut digunakan untuk penderita yang sakit kepala. Ia yang memilihkan dan memilah mana yang diperlukan oleh para pasiennya, setelah ia mendiagnosanya.

Itulah analogi bagaimana seorang pustakawan harus berkarya. Pelayanan adalah nomor satu. Perpustakaan harus bisa menjadi sebuah layanan yang bisa membanggakan para pelanggannya. Seperti kebiasaan orang Indonesia yang 'suka pamer' dengan memperlihatkan gaya hidup dan apa yang dimilikinya.
Misalnya saat kita berbelanja di sebuah supermarket, pasti merasa lebih gaya daripada berbelanja di pasar tradisional, atau misalnya saat kita makan di restoran McDonald, atau Kentucky.
Rokok Marlboro, merupakan rokok impor yang dari negara asalnya tidak terjual. Mereka hanya memasang iklan saja, tetapi sebenarnya di negara asalnya itu tidak ada yang merokok. Sebaliknya, orang Indonesia bisa lebih gaya dengan merokok Marlboro. Miris juga ya...hehehe..

Intinya, perpustakaan harus bisa menjemput bola, dengan menemukan kebutuhan para pelanggannya. Seperti contoh di atas, bukan menunjukkan merek, tetapi lebih sebagai contoh agar bisa lebih bisa dicerna.



* Tulisan ini hasil dari Workshop Profesionalisme dalam topik Pustakawan Cerdas dan Kreatif oleh Drs. Agus Rusmana, MA. FIKOM UNPAD