Jumat, 01 Juli 2011

Perpustakaan Universitas Indonesia Depok

Dalam rangka mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Goethe-Institute, Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII), saya dengan tiga teman saya bertolak dari Bandung ke Depok.

Di seminar itu dituturkan tentang kurikulum di Cologne University of Applied Sciences, Jerman dipaparkan oleh Prof. Dr. Ursula Georgy sebagai nara sumber. Ursula menjelaskan bahwa di Jerman hanya berkisar 15% saja yang mempunyai perpustakaan sekolah. Itu pun dikelola oleh para guru dan orang tua murid.

Ada pula nara sumber dari Universitas Malaya - Malaysia, yaitu Dr. Nor Edzan binti Che Nasir. Beliau memaparkan kompetensi pustakawan di Malaysia. Malaysia mempunyai standar kompetensi. Misalnya seseorang dengan standard S54, ia harus lulus S3. S41 harus lulus S1. S27 lulus diploma, sedangkan yang terendah adalah S17 harus telah mengikuti pelatihan selama satu tahun. Di Malaysia jurusan perpustakaan tidak banyak.

Nara sumber Fuad Gani, MA. Beliau dari Universitas Indonesia, menjelaskan tentang kurikulum yang ada di Universitas Indonesia. Beliau memaparkan tentang kompetensi jurusan ilmu perpustakaan dan informasinya dibandingkan dengan jurusan-jurusan lain yang ada di Universitas Indonesia. Bahwa jurusan ilmu perpustakaan, lebih cepat bekerja dibanding dengan jurusan Sastra Arab. Di sana dijelaskan pula rentang waktu untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Kebanyakan, jurusan ilmu perpustakaan bekerja pada bidangnya, dibandingkan dengan jurusan lain.

Dilanjutkan dengan bedah buku yang berjudul The Keyword : Perpustakaan di Mata Masyarakat. Di sini dijelaskan tentang tulisan-tulisan yang dimuat di buku ini. Bagaimana para penulis menyajikan opini dan kedekatannya dengan perpustakaan. Pandangan mereka tentang perpustakaan. Seru juga loh.. :D
Editor buku ini adalah Labibah Zain dari komunitas blog Yogyakarta.













Senin, 28 Februari 2011

Meningkatkan Citra Pustakawan

Citra pustakawan saat ini sedang mengalami degradasi. Tak seperti dulu, profesi seorang pustakawan boleh dikata sangat terhormat. Pada masa itu, seorang pustakawan dapat menjadi penasihat penguasa. Tidak seperti sekarang ini, pustakawan sungguh tidak terlihat kiprahnya, padahal tanpa pustakawan profesional, maka tidak akan pernah bisa melahirkan lulusan yang diharapkan bagi bangsa.

Pun dengan nilai dari jabatan fungsional yang berlaku amatlah berbeda dengan jabatan fungsional lainnya. Faktor dari pemerintah pusat yang sepertinya kurang mengangkat profesi pustakawan, sehingga tidak mendukung adanya peningkatan itu sendiri. Stuck, seolah tak ada apapun yang dihasilkan oleh pustakwan, meskipun perannya sungguh sangat diperlukan.Entahlah, dari dulu sampai sekarang ini, di setiap seminar yang ada dan pernah saya ikuti, selalu mengemukakan materi dengan topik upaya-upaya untuk meningkatkan citra seorang pustakawan.

Andai, pustakawan bisa menjadi nara sumber dan pemecah persoalan bangsa yang tengah berkecamuk ini. Terus, iklan-iklan di televisi yang melibatkan arti dari pustakawan. Mungkin lama kelamaan minat baca dan minat menjadi seorang pustakawan akan meningkat di negeri ini.

Sebenarnya, menjadi seorang pustakawan itu cukup leluasa. Ia bisa menjadi apapun yang dikehendakinya, karena beragam informasi berada di genggamannya. Misalnya menjadi seorang analis informasi, penulis, editor, konsultan perpustakaan, dan lain sebagainya, sehingga profesi sebagai seorang pustakawan tidak lagi menjadi sebuah profesi yang tidak dipandang sebelah mata. Menjadi sangat mungkin sekali bahwa prospek dari seorang pustakawan akan semakin cemerlang, jika pustakawan itu ada kemauan ke arah sana untuk membawa pustakawan ke bintang-bintang. Library go to the stars... *ehm.. kapan ya kita pergi ke bintang-bintang...?*


* Ulasan dari Drs. Suherman (penulis dan pustakawan teladan)

Kamis, 24 Februari 2011

Pustakawan Sama Dengan Dokter

Pustakawan telah 'dituduh' sebagai seseorang yang smart. Setidaknya, itulah tuntutan dari luar yang mengarah kepada seorang pustakawan.

Jika diperhatikan lebih cermat lagi, ada beberapa tuntutan dari luar yang sebaiknya bisa dipenuhi oleh pustakawan selain smart.
Tuntutan harus belajar dan belajar terus, lebih baik membaca lebih dahulu daripada pelanggan, dan juga bisa mendengarkan terlebih dahulu pertanyaan dari pelanggan.
Seorang pustakawan sering kali mendapat pertanyaan yang sifatnya merujuk atau mereferensikan kebutuhan para pelanggan. Jika ada yang bertanya tentang rak buku, itu bukan pertanyaan yang diajukan kepada pustakawan, melainkan kepada petugas perpustakaan.

Pustakawan memang dituntut untuk smart, agar jangan sampai pelanggan yang mengajari pustakawan. Jangan pernah menjawab "TIDAK TAHU", sebisa mungkin menjawab pertanyaan. Pustakawan juga harus bisa menemukan informasi apapun juga, menjawab apapun, mengkatalog apapun, dan NEVER EVER BLUSH, dalam arti jangan sampai pustakawan malu karena tidak bisa menjawab pertanyaan dari para pelanggannya.

Pustakawan yang sesuai tuntutan luar itu bisa mencari dan menemukan kebutuhan pelanggan, memilih sumber penyedia media informasi misalnya dia mengetahui buku itu ada di toko apa, dan dimana bisa diperoleh. Juga mengolah media agar dapat diakses, menata bahan pustaka agar lebih menarik perhatian, memberitahukan kepada pelanggan jika ada informasi terbaru mengenai koleksi perpustakaan, aga para pelanggan datang dan bersedia datang untuk menggunakan produknya.

Jika profesi pustakawan disejajarkan dengan profesi lainnya, pustakawan bisa dikatakan mirip seperti seorang dokter. Ia harus bisa memberikan obat bagi para pasiennya, karena semua obat adalah bahan kimia, tidak bisa obat sakit perut digunakan untuk penderita yang sakit kepala. Ia yang memilihkan dan memilah mana yang diperlukan oleh para pasiennya, setelah ia mendiagnosanya.

Itulah analogi bagaimana seorang pustakawan harus berkarya. Pelayanan adalah nomor satu. Perpustakaan harus bisa menjadi sebuah layanan yang bisa membanggakan para pelanggannya. Seperti kebiasaan orang Indonesia yang 'suka pamer' dengan memperlihatkan gaya hidup dan apa yang dimilikinya.
Misalnya saat kita berbelanja di sebuah supermarket, pasti merasa lebih gaya daripada berbelanja di pasar tradisional, atau misalnya saat kita makan di restoran McDonald, atau Kentucky.
Rokok Marlboro, merupakan rokok impor yang dari negara asalnya tidak terjual. Mereka hanya memasang iklan saja, tetapi sebenarnya di negara asalnya itu tidak ada yang merokok. Sebaliknya, orang Indonesia bisa lebih gaya dengan merokok Marlboro. Miris juga ya...hehehe..

Intinya, perpustakaan harus bisa menjemput bola, dengan menemukan kebutuhan para pelanggannya. Seperti contoh di atas, bukan menunjukkan merek, tetapi lebih sebagai contoh agar bisa lebih bisa dicerna.



* Tulisan ini hasil dari Workshop Profesionalisme dalam topik Pustakawan Cerdas dan Kreatif oleh Drs. Agus Rusmana, MA. FIKOM UNPAD

Kamis, 06 Januari 2011

Dibalik Penelitian Kecil

Sebuah penyedia informasi yang berorientasi pada pengguna, hendaknya selalu mengembangkan dan meningkatkan kualitasnya dalam hal ini demi tercapainya kepuasan dari para penggunanya.

Tentunya, untuk mencapainya memerlukan upaya secara berkesinambungan. Selain mendengarkan keluhan dari para pengguna melalui kotak saran yang disediakan, sebaiknya penyedia informasi melakukan penelitian kecil yang ditujukan pada para pengunjung, mengenai pelayanan, jam layanan, koleksi, tata ruang, keakuratan data temu kembali, dan lain sebagainya.

Dengan membuat kuesioner ini, paling tidak pengelola penyedia informasi bisa mendapatkan gambaran mengenai seluruh pengelolaannya sehingga dapat lebih mengakomodir setiap kebutuhan dari para pengguna, memperbaiki apapun yang selama ini merupakan kekurangan dari sebuah penyedia informasi, membuat kebijakan baru yang lebih sesuai berdasarkan dari hasil kuesioner tersebut.

Jika dulu, perpustakaan identik dengan keheningan. Tidak boleh ribut dan dimana-mana tertempel tulisan HARAP TENANG. Tetapi setelah dilakukan penelitian kecil, ternyata hasilnya adalah kebanyakan dari pengunjung yang datang ke perpustakaan justru untuk berdiskusi dalam mengerjakan tugas, atau berdiskusi mengenai mata kuliah tertentu, dikaitkan dengan literatur yang ada di perpustakaan, bukan untuk belajar dan membaca, karena mereka beranggapan bahwa buku bisa dibaca di rumah, dengan meminjam buku tersebut, seperti kasus di Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) Depok.

Dengan hasil otentik tersebut, akhirnya pihak penyedia informasi membebaskan para pengunjungnya untuk tidak ribut lagi. Tulisan HARAP TENANG telah berubah menjadi SILAKAN BERDISKUSI ASAL TIDAK MENGGANGGU PENGGUNA LAIN.
Kursi meja studi karel pun telah diubah bentuk menjadi kursi biasa yang lebih memungkinkan untuk mempermudah dalam berdiskusi, tidak sendiri-sendiri lagi, karena para pengunjung jarang pula yang datang ke perpustakaan sendirian. Pasti bersama teman-temannya.
Namun, lebih ideal lagi jika pihak penyedia informasi menyediakan ruangan khusus untuk diskusi. Di sisi lain ruang khusus ini juga harus dicermati agar tidak membatasi para pengunjung yang ingin berdiskusi di perpustakaan.

Dibalik penelitian kecil, perpustakaan akan semakin dicintai oleh para pengunjungnya. Dan keberhasilan di dalam memuaskan para pengunjung adalah tujuan utama dari setiap penyedia informasi di manapun juga.

Jumat, 10 Desember 2010

Perpustakaan = Jantung Sebuah Universitas?

Sering kali kita mendengar ungkapan bahwa perpustakaan diibaratkan sebagai jantung di sebuah perguruan tinggi.

Apakah memang demikian adanya? Jantung yang seperti apa yang diperlukan oleh sebuah universitas, jika pada kenyataannya perpustakaan hanyalah sebagai sebuah tempat buangan bagi karyawan-karyawan yang dinilai jelek kondite kerjanya?

Telah banyak seminar-seminar yang membahas tentang jantungnya sebuah universitas ini. Bahwa maju mundurnya sebuah universitas, tergantung pada perpustakaan yang dimilikinya, meliputi jenis koleksi dan segala penunjangnya. Memang benar, kualitas lulusan dari sebuah universitas sangat bergantung dari sarana dan prasarana yang tersedia di universitas itu sendiri.

Namun, ada lagi sebuah kenyataan pahit tentang perpustakaan, bahwa banyak pimpinan universitas tidak selalu concern tentang perpustakaannya. Perhatian dan penghargaan terhadap perpustakaan biasanya amat minim sekali. Apakah ini yang disebut jantung yang sesungguhnya?

Maka patut berbahagia bagi sebuah perpustakaan, jika seorang pimpinannya memperhatikan dan sanggup mengakomodir kebutuhan perpustakaannya. Sebab, jaranglah terjadi pimpinan yang seperti ini. Entahlah... Apakah ini sebuah kutukan? *lagian sapa yang berani mengutuk perpustakaan? ‎​:pH̶̲̥̅̊ξ²♒H̶̲̥̅̊ξ²:p♒H̶̲̥̅̊ξ²♒H̶̲̥̅̊ξ²:p*

Jantung adalah merupakan alat vital bagi tubuh. Ia bisa menghasilkan darah yang paling bersih ke otak, hingga ke bagian tubuh lainnya. Jadi, jika perpustakaan disamakan dengan jantung, maka sangat benarlah adanya. Karena jika ada karyawan yang mbalelo, bandel, dan super nakal, maka di kebanyakan kasus, pasti akan dimutasi ke perpustakaan. Perpustakaanlah 'tempat penggojlogan' bagi mereka.
Nah, setelah sang nakal tadi telah berkualitas, maka biasanya akan ditarik kembali untuk ditempatkan di unit lain yang membutuhkannya. Cocok, bukan dengan analogi di atas...? Adilkah ini...?

Inilah gambaran kebanyakan perpustakaan yang ada di Indonesia.
Banyak usaha yang bisa dilakukan oleh perpustakaan jika ingin dihargai kehadirannya, jika ingin diakui keberadaannya. Harus berani menjadi pendobrak dalam melakukan kegiatan positif yang menggugah perhatian dari luar terlebih dahulu. Dari sanalah kualitas sebuah perpustakaan bisa terlihat.